What is Love? (Part 5)

Entah akan nulis ini sampai part berapa ya..hahaha..
Hidup terus bergerak dan belajar itu adalah tugas kita sampai akhir hidup bukan? :)
So, mari kita balik ke topik ini.

Tiba-tiba kepikiran sama cerita klien minggu lalu. Dia cerita tentang kedekatannya selama 1 tahun dengan seorang cowok dan sekarang dia sangat takut sekali ketika cowok ini tiba-tiba berubah menjauh. Se-khawatir itu sampai dia ga bisa mengontrol dirinya sendiri untuk stlaking media sosial cowok ini beserta komen2 yang didapat bahkan dia suka minta diramal pake kartu tarot. Okeh, udah mulai aneh? Tunggu dulu...belum selesai ceritanya :)
Si cowok ini juga dari cerita klien saya, sangat sulit pisah dengan orang-orang yang ga baik dan cenderung kasihan ketika melihat perempuan model klien saya. Yang gampang sekali breakdown, rapuh, insecure dan panik berkepanjangan.

Selama kurang lebih 1 jam saya konseling dia, saya hanya mendengarkan dan sesekali bertanya apa yang dia takutkan sebenarnya. Klien saya bukan tipe anak yang ga pinter, saya tau dia suka sekali baca buku dan punya rasa keingintahuan yang besar sekali sampai googling apapun yang sedang dia ingin tau. Bahkan dia tau bahwa cowo ini ga akan membawa dia lebih baik,  tapi dia ga bisa "lepas". Sampai percakapan berujung dengan dia bertanya, "Kak, emang ada ya cinta yang bener-bener unconditional, tanpa syarat? Menurutku semua orang yang mencintai itu egois. Manusia kan egois ya kak, pasti masing-masing ada suatu kebutuhan dalam dirinya supaya itu dipenuhin aja. Jadi balik lagi, ga bisa bener-bener pure mencintai, pasti egois. Tuhan aja bilang kita bisa masuk ke surga kalau kita percaya sama dia. Berarti kan ada syaratnya, iya ga sih kak?" (Btw, dia atheis).

Agak surprise dengan cara berpikir dia sekaligus ga ngerti gimana cara nanggepinnya, saya sebagai konselor melakukan apa yang konselor-konselor lain biasa lakukan kalau lagi stuck dan butuh waktu buat mikir lebih lama dengan bilang sambil angguk-angguk kepala, "Hmm...gitu yaa cara kamu berpikir"..terus dia ketawa...bukan karena dia tau saya ga bisa jawab, tapi karena merasa cara berpikir dia memang aneh.. "Hahaha...ga tau kak, aku emang mikirnya aneh yaa..."

Tapi jujur, pertanyaan itu cukup membuat saya ga bisa jawab sih. Karena satu sisi ada benarnya juga. Ga usah ngomongin pernikahan deh. Tahap pdkt aja, belum jadian. Masa ga ada syarat? Kita pasti cenderung pilih pasangan sesuai prefrensi kita secara fisik. Itu aja udah syarat. Kalau dideketin sama yang ga sesuai kriteria kita, apa kita mau? Nggak juga kan...
Masuk ke masa pacaran, seringkali egois muncul dalam berbagai bentuk. Kebutuhan-kebutuhan pribadi muncul dan berharap pasangan akan mengerti dan bisa memenuhi itu. Egois? Bisa iya, bisa nggak.

Saya jadi ingat dengan 1 variabel yang saya bahas ketika mengerjakan Thesis, yaitu Attachment. Ternyata pengaruh attachment kita pada masa kecil berpengaruh terhadap cara kita melihat diri dan orang lain dan dalam berelasi. Anak akan membentuk sebuah penilaian kognitif sejak kecil terhadap kehadiran dan sikap responsif pengasuhnya pada saat anak membutuhkan (atau dalam situasi distress). Ok, sekarang coba kita ingat-ingat masa kecil kita, apakah pengasuh kita (dalam hal ini orangtua) "hadir" dan "responsif" ketika kita sedang nangis? Atau mereka kadang hadir kadang nggak? Atau mereka cuek ga peduli kamu nangis alias ga hadir sama sekali?
Kenapa ini jadi penting? Karena pengalaman internal dalam diri anak inilah yang kemudian akan membentuk sebuah prototype untuk hubungan lain diluar keluarga. Gimana cara pandang dia terhadap orang lain.
Tentu pengalaman ini ga cuma sekali dua kali. Tapi anak akan belajar secara internal, termasuk secara kognitif, apakah orang lain itu aman dan bisa dipercaya, atau sebaliknya.

Klasifikasi Attachment sendiri ada 4 macam. Kita bisa coba mengira-ngira termasuk golongan yang manakah kita ketika berelasi dengan orang lain :

1. Secure

Orang-orang yang secure tumbuh dari pengalaman masa kecil dimana figur pengasuh mudah memberikan dukungan emosi, hadir dan memberikan kelegaan. That's why ketika dewasa dan dalam sebuah hubungan, mereka tidak takut untuk menceritakan pengalaman baik atau buruk, berani terlihat rapuh, mudah memberikan comfort dan ketika pasangannya yang membutuhkan, mereka akan dengan mudah juga memberikan comfort dan dukungan emosi. Orang-orang yang secure juga mampu menjaga keseimbangan antara keintiman dan otonomi. Jadi ga gampang baper kalo chat aja ga dibales dalam waktu 1 jam misalnya, hahaha..atau ga gampang marah kalau misalnya pasangan punya hobby dan mau main sama temen-temennya dulu.
 
2. Insecure-Anxious

Pengalaman masa kecil, dimana figur pengasuh ga bisa diandalkan ketika kita sedang dalam situasi distress. Kadang baik, kadang nggak. Ini bikin anak cemas. Ketika dewasa, dalam berelasi, mereka cenderung menginginkan kedekatan sebagai jaminan kalau ini itu aman karena dia khawatir sekali akan penolakan dan ditinggal. That's why bisa dibilang tipe ini akan sangat clingy dan dependent sekali. Pengen cepet-cepet masuk dalam sebuah relasi dan mengikat dibandingkan dijalani perlahan-lahan. Oiya, 1 lagi...mereka cenderung overly dramatic. Buat apa? Supaya dapet perhatian dan kasih sayang.

3. Insecure-Avoidant

Ketidakhadiran figur pengasuh saat dibutuhkan membuat mereka terbiasa merasakan penolakan. Makanya biasanya pas udah dewasa, mereka cenderung memiliki kesulitan dalam membangun intimacy. Kalau bisa menghindar, menghindar aja. Kenapa? Supaya mereka ga kecewa. Rasa sakit karena penolakan itu udah merasuki dia, sehingga susah buat mereka untuk open dan cenderung menekan perasaannya, ga mau ngomongin perasaannya. Kenapa? Karena balik lagi tadi, takut merasa tertolak dan sakit kalau dia open.

4. Insecure-Disorganized

Mereka ga butuh orang lain dan menghindari keintiman. Bedanya sama nomer 3, kalau yang ini mereka biasanya menampilkan defense dengan berusaha menampilkan keadaan atau situasi yang baik terhadap dirinya sendiri maupun keluarganya. Kenapa mereka ga butuh orang lain? karena pas masih kecil, sama-sama mendapat penolakan dari figur pengasuh, bedanya mereka ketika dewasa mengembangkan otonomi yang terlalu tinggi, terlalu independent sampai ga butuh orang lain. Mereka melihat orang lain negatif, tapi melihat diri sendiri positif.


So, kita yang mana? :)
Menarik yaa kalau kita bisa aware dengan apa yang terjadi dalam diri kita. Ternyata faktor yang mempengaruhi banyak sekali. Tapi, pertanyaan berikutnya, kalau gw kecilnya insecure emangnya ga bisa berubah pas gede gitu? :)

Ada yang bilang itu stabil seumur hidup, tapi ada yang bilang itu bersifat dinamis.
Saya penganut paham yang kedua :) yang bersifat dinamis.

Tapiiiiii....ada tapinya...hehehe...
Itu bisa berubah, tergantung dari 2 hal : pengalaman baru dan proses kognitif kita.
Ada pengalaman2 baik relasi dengan orang lain yang baik maupun lingkungan yang kondusif dan aman yang memungkinkan pikiran terhadap apa yang sudah disimpan sejak kecil itu direkonstruksi ulang. Gimana caranya? Ya itu semua tergantung kita sendiri. Apakah kita mau mengubah cara berpikir, mengubah interpretasi bahwa tidak semua orang itu kerjaannya bikin sakit hati terus, bahwa ga ada kabar berapa jam bukan berarti dia ga sayang, bahwa ada orang-orang yang aman untuk kita cerita tentang perasaan kita tanpa takut di judge.

Ini semua butuh usaha kita untuk mencari lingkungan yang positif dan mengubah internal sistem yang udah ada di otak kita.
PR banget? Iya PR banget kalau mau relasi kita sehat :)
Dan PR ini ga instan.
Tapi setidaknya, mulailah dari awareness dari apa yang sedang terjadi dalam diri kita, dan apa yang bisa kita lakukan untuk lebih baik kedepannya.



 It takes a very strong individual to sit with themselves, calm their storms, and heal all of their issues without trying to bring someone else into that chaos. Your journey into sel-love is just that :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hal-Hal Yang Gw Harap Gw Paham Ketika Masih Muda

Say Hello to Your Inner Child

Toxic Positivity