20 tahun yang lalu

Saat itu saya masih kelas 6 SD, hahaha..kecil banget ya. Tapi justru dititik inilah perjalanan naik turun hidup saya dimulai. Saya baru sadar, berarti saya sudah di Jakarta selama 20 tahun :)

Bagi sebagian orang, Jakarta itu kota yang keras. Ada ungkapan : lebih kejam ibu kota daripada ibu tiri katanya, hahaha..buat saya saat itu yang masih belum terpapar besarnya kota metropolitan, saya clueless ketika tiba-tiba saja saya harus pindah ke kota besar ini. Mau tau ga kenapa saya akhirnya mau pindah? Cerita yang kalau saya dan kakak-kakak saya bahas lagi, pasti mereka ketawain saya sampai puas. Hahaha...

Jadi sebelum di Jakarta, saya tinggal di Surabaya. Sama-sama kota besar sih, tapi beda aja gitu culture dan tipe orang-orangnya. Saat itu kelas 6 pertengahan dan papa saya dipindah tugas dari kantornya untuk pergi ke Jakarta. Mau ga mau, kami sekeluarga harus ikut. Awalnya saya ga mau, saya menentang habis-habisan ketika harus pindah ke Jakarta. Mungkin karena saat itu saya sudah punya teman baik di sekolah, sahabat, temen-temen gereja, bahkan saat itu lagi ada cowok yang saya suka. (ya ampun bocah..hahaha..)

Lalu papa saya cari cara supaya saya mau pindah. Dan dimulailah pembodohan anak kecil.. (kalau inget-inget ini sekarang beneran deh saya ngakak sendiri melihat kebodohan saya). Papa saya bilang gini, "Kamu ga mau pindah ke Jakarta? Enak loh di Jakarta..ada tempat main, ada dufan, nanti kita bisa main tiap minggu ke sana."

Iyaa, ga usah ketawa. 

Dufan bagi orang di luar Jakarta saat itu hits banget. Ga ada tuh yang punya tempat bermain selain di Jakarta. Dulu belom ada yang namanya Trans Studio, Waterpark atau semacamnya. Adanya paling mentok ya kebun binatang. Hahaha...seriusan. 

Iming-iming bisa main ke Dufan tiap minggu itu akhirnya membuat saya mau pindah ke Jakarta. Tapi sampai di Jakarta, boro-boro main ke Dufan, kaga ada tuh kita main ke sana kecuali ikut acara kantor papa/mama saya, atau saya sama sekolah saya belajar Fisika di Dufan. Tiap minggu? Meh! Yang ada setahun sekali.

Dan saya cukup stress tinggal di Jakarta saat itu. Sesimple gaya bahasa. Disini udah pakai "gue elo", sedangkan orang diluar Jakarta itu terbiasa pakai kata "aku kamu". Segitu bedanya. Belum lagi logat yang cukup medok karena saya dari Surabaya. Habis lah saya saat itu.

Yes, saya juga pernah ngalamin yang namanya di-bully.

Karena saya pindah waktu pertengahan kelas 6, which is itu mau Ebtanas (namaya dulu itu, sekarang UN sepertinya ya), nilai saya ancur-ancuran. Culture shock. Bahkan pelajarannya pun beda. Punya temen? Boro-boro. Gimana mau punya temen pindah di pertengahan kelas 6. Jujur saya tersiksa banget waktu itu sih. Saya banyak ke perpus dan WC jadi tempat persembunyian saya (udah kayak di film-film ya..hahaha..). But, it's real. Belum lagi saya pernah di fitnah mengambil barang teman saya, padahal itu barang saya (penghapus kecil yang bisa dibuat main juga untuk meramal cuaca). Bahkan saya masih sangat ingat bentuknya. Tapi teman saya ambil itu dan bilang ke teman-teman lain kalau saya pengen barang itu. Ketemu di WC, dia gencet saya dengan teman-teman cewe lainnya. 😅 Kalau dipikir-pikir lagi, gile juga yaa anak kelas 6 SD tahun 2000. Ga kebayang anak sekarang gimana.

Trus lo diem aja? Ya gw bisa apa. Akhirnya emang saya cuma bisa diem aja. Tapi itu cukup membekas sekali dalam diri saya.

Singkat cerita, beberapa bulan kemudian ada anak pindahan juga dari Surabaya. Surprisingly, (sok bule loh ah 😂) dia 1 sekolah sama saya dulu di Surabaya. Tapi saya ga inget sama sekali. Akhirnya kami berteman? Kalau di film-film sih gitu yaa, sama-sama anak pindahan, cupu, akhirnya berteman..tapi sayangnya, realitanya ga begitu..hahaha...iyaa dia yang paling baik sama saya di sekolah. Dia yang mau nemenin saya, ngajak saya ke kantin, nyamperin anak-anak lain. Dia orangnya lebih easy going dan gampang membaur, sedangkan saya butuh waktu. Walaupun pelan-pelan mulai bisa. 

Akhirnya kami berdua iseng untuk nulis surat ke guru kami di Surabaya. Guru Bahasa Inggris. Bagian ini yang mau saya highlight. Beberapa minggu lalu saya sempat pulang ke rumah dan membuka lemari saya. Saya itu suka banget nyimpen barang-barang yang ada memorinya. Hahaha..dan ketemulah surat-surat saya jaman SD. 


12 Januari 2000 bookk...hahaha...dan masih saya simpan.

Kalau ditanya sekarang, lo inget gurunya yang mana? Kaga..hahahaa...yaampun, mukanya pun saya ingatnya cuma samar-samar. Maafkan muridmu ini yaa Bu..hahaha..

Tapi ketika saya baca ulang surat ini ya, saya terharu sih. Saya yakin dulu pas baca, saya merasa terhibur. Dia tau kami kesepian dan struggle di Jakarta. Bahkan dia bilang "Don't be so sad with your mark. If you get a bad mark, doesn't mean that you are a stupid student. Mark is not important. The most important is knowledge." Waaaa...asli..saat itu mungkin saya ga paham ya sama kata-kata ini. Bagi saya umur 12 tahun nilai itu penting. Tapi saya 20 tahun kemudian bisa memahami apa arti kata-kata guru saya ini. 

Saya pengen banget berterima kasih sama guru saya ini. Tapi saya ga tau keberadaannya, bahkan sejak itu kami udah ga pernah contact-contactan lagi.

Saya jadi berpikir gitu ya, terlebih lagi saya sekarang juga adalah guru (walaupun guru piano). Kata-kata sekecil apapun, tulisan sesimple apapun, semangat dan nasihat sependek apapun, anak itu akan ingat. Bukan perkara "isi"nya, tapi perkara "apa yang anak rasakan." Dan saya merasa saya dikelilingi orang dewasa yang membimbing saya (walaupun saat itu saya tidak mendapatkannya dari orangtua). Tapi Tuhan kasih lewat orang-orang seperti guru saya diatas. 

Perasaan thankful dan grateful ini pun membawa saya mengingat kembali kepada 1 orang lainnya, dimana saya merasa saya belum pernah personally say thank you ke dia di masa saya SMP dan punya pergumulan luar biasa dengan keluarga.Tuhan menghadirkan orang dewasa lainnya, yaitu cici pembimbing gereja saya. Apa yang dia lakukan saat itu? Saya yakin sih dia doain saya tiap malam. Dan suatu waktu, dia minta saya ke gereja dan bertemu dia. Untuk apa? Untuk ngasih boneka kesayangan dia. Bahkan saya masih ingat namanya : Bonny. 17 tahun yang lalu..dan boneka itu masih tersimpan sampai sekarang.

I'm so blessed.

Saya hanya bisa berterima kasih kepada orang-orang yang membantu dalam journey saya, sekecil apapun. Mungkin mereka ga tau dampaknya sebesar apa dalam hidup saya. Tapi saya rasa mereka berhak tau bahwa saya sangat berterima kasih kepada mereka. 

Perjalanan ini membawa saya kembali untuk bertemu dengan inner child saya. Seperti yang sudah saya bahas di blog sebelumnya tentang inner child (silakan di klik kalau mau baca). Yes, my inner child wounded. Tapi saya bersyukur untuk orang-orang yang membantu saya saat itu. Membantu bukan untuk menyelesaikan masalahnya, masalahnya tetap ada, namun membantu dalam support and care yang mereka berikan. And that's enough for me. 


To my inner child, you're safe now. I'm here with you, with new knowledge and better tools.

You're here and i appreciate what you're still showing me. When you point out the places that still hurt, i learn more about what you need. 

About those things you wish you could've handled better or learned sooner, i'm sorry. You're still so loved. You have always been enough. I love you.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hal-Hal Yang Gw Harap Gw Paham Ketika Masih Muda

Say Hello to Your Inner Child

Toxic Positivity