Cerpen : Dalam Diam (1)

Mungkinkah seorang cewek dan cowok hanya bersahabat tanpa ada perasaan lebih? Pertanyaan yang bagi sebagian besar orang mengundang banyak sekali perdebatan dan teori. Begitu pun dengan aku yang suka sekali berdebat dan mempunyai teori sendiri. Aku yakin sekali bahwa seorang cewek dan cowok bisa kok bersahabat murni tanpa pemanis bumbu yang dinamakan : cinta.

Aku, Lala, seorang mahasiswi di salah satu kampus ternama di pusat kota Jakarta. Sahabatku, Dika, tidak satu kampus denganku. Kami sudah bersahabat kurang lebih 8 tahun. Mulai dari kami memakai baju putih biru, putih abu-abu, sampai baju bebas ketika kami menjalani hidup dalam dunia perkuliahan.

Awal mulanya kami dipersatukan dalam sebuah band beraliran Indie Pop. Aliran yang mungkin tidak termasuk selera pasar saat itu karena arransemen lagu-lagu yang dimainkan tidak biasa, Kiblat kami adalah aliran musik seperti White Shoes and The Couple Company, Mocca, ataupun Efek Rumah Kaca. Aku pianis di band tersebut, sedangkan Dika bermain bass. Kami berdua anggota termuda yang di rekrut sehingga itu juga yang membuat kami dekat satu dengan yang lain. Kedekatan yang ternyata membuat banyak orang bertanya-tanya.

“La, lo jadian ya sama Dika?” tanya seorang senior selesai latihan band.

“Hah? Ngaco lo.” Aku tertawa lepas. “Gue sama Dika cuma temen kali. Emang kenapa lo bisa bilang gw jadian sama Dika?” Aku mengernyitkan dahi, ada rasa sedikit penasaran dalam diriku.

“Sebenernya gue dengernya dari anak-anak lain juga sih. Mereka sering lihat lo jalan berdua, nempel kayak perangko, kemana-mana berdua. Jadi mereka pikir kalian jadian.”

Aku tersenyum kecil. Ada perasaan senang ketika mendengar kata-kata senior tersebut. Yes, berarti gue bisa membuktikan bahwa teori gue bener, pikirku. Masih inget kan aku tipe orang yang suka punya teori sendiri? Senang rasanya bisa membuat orang lain bingung. Jujur, aku menikmati disalahartikan saat itu. Ada kepuasan tersendiri dalam batinku. Mungkin karena zodiak-ku Leo ya (ga tau ada hubungannya apa nggak sih, hahaha..). Tapi begitulah yang dikatakan berbagai kolom zodiac tentang Leo, “Akulah pusat semesta, pay attention to me please.” Walaupun aku selalu denial, “aku ga seperti itu kok”, tapi khusus kali ini, dengan Dika, aku suka kalau mereka memperhatikan.

Dika tau semua permasalahanku dan ada dalam setiap sedihku. Entah masalah keluarga ataupun masalah dengan mantan pacarku. Beberapa kali, dia menemani ketika aku sedang ada masalah di rumah, sekedar pergi ke Café untuk ngobrol sampai malam atau bahkan mengajak teman band lainnya untuk jalan menemaniku supaya aku tidak suntuk di rumah. Aku pun berteman dekat dengan adik Dika. Beda umur kami hanya 2 tahun. Aku beberapa kali menginap di rumah Dika sehingga orangtua Dika, khususnya mamanya pun mengenalku. Kedekatan kami bagi sebagian besar orang memang terlihat aneh. Entahlah.

Pernah suatu kali, kami iseng tukeran HP selama 1 minggu tapi tentu saja isinya simcard kami sendiri. Jadi aku membawa HP Dika ke kampus. Saat itu aku masih jadian dengan mantan pacarku. Lucunya, ketika aku mau balas message mantanku, dengan bodohnya aku mengirim stiker yang tidak seharusnya aku kirim karena ada di HP Dika. Saat itu belum ada fitur bernama delete message for everyone. Aku hanya bisa mengutuki diriku sendiri. Dika? Tentu saja tertawa terbahak-bahak menikmati kebodohanku.

“Bego banget sih lo, La. Dodol. Hahaha..lagian emang lo ga lihat dulu apa sebelum lo send ke dia?” Dika tertawa keras sambil mengacak-acak rambutku.

“Ih..Dika..berantakan tau!” Aku merepet kesal sambil membenarkan posisi poniku supaya rapi kembali. “Gue ga tau cuy, kapok gue pake HP lo. Ga mau lagi ah tukeran HP. Nih gw balikin.” Aku menyodorkan HP Samsung Galaxy kedepan mukanya.

“Dih, apaan. Itu mah lo nya aja yang terlalu pintar. Saking pintarnya bisa sampe salah kirim.” Dika kembali tertawa puas.

“Terus gimana dong Dik ini gue. Duh, gw kan ga enak salah kirim gitu. Gue harus gimana?”

“Elo. Gw. End.” Dika menggerakkan tangan kanannya di leher sambil menirukan gaya orang mati dibunuh, lalu kembali tertawa.

“Sumpah lo Dik. Ga membantu banget. Temen nih, begini kelakuannya.” kataku manyun.

Dika memang suka melihatku sengsara kalau itu memang karena kebodohanku sendiri. Rasanya kalau aku jatuh kepeleset di jalan, hal pertama yang dia lakukan adalah tertawa terbahak-bahak, baru setelah itu membantuku bangkit. Tapi kata orang, memang begitulah yang dinamakan sahabat. Aku tidak pernah masalah jika Dika iseng terhadapku, sampai ternyata…keisengannya perlahan menimbulkan suatu perasaan aneh dalam diriku, perasaan yang sangat aku hindari karena bisa meruntuhkan teoriku sendiri. Damn..perasaan apa ini.

Semua perlakuan Dika tiba-tiba berputar ulang dalam pikiranku semacam sebuah cerita dalam film. Dika dengan postur tubuhnya yang lebih tinggi, sekitar hampir 170 cm seringkali merangkulku ketika jalan karena memang tinggku jauh sekali dari dia, bahkan 160 cm aja nggak sampai. Dika yang kadang mengelus-elus rambutku tanpa ada sebab, Dika yang kadang meraih tanganku untuk sekedar bermain-main. Dika yang memilih duduk dekat denganku disaat banyak sekali bangku kosong di tempat lain. Dika yang selalu mengganggu dan meledekku didepan teman-teman band lainnya. Tiba-tiba saja aku melihat dia bukan lagi sebagai sahabat, tetapi sebagai potensi calon pasangan. Entah kenapa saat itu tingkat kegantengannya naik 80%. 20%-nya lagi aku simpan lah ya karena aku sudah tau busuk-busuknya dia, bahkan ketika dia hanya pakai kaos oblong dan celana pendek di rumah.

“Oh, shit! Gw ga boleh suka sama dia, tapi gimana doonnkk, Ra… “ Aku memendamkan mukaku dalam bantal di kamar sahabatku. Perasaanku sudah tidak bisa tertahankan lagi sampai akhirnya memutuskan untuk cerita ke Rara.

“Yaelah…elo, lagian…kalian tuh emang deketnya ga normal tauu, masa lo baru sadar sekarang sih La.”  Sahabatku satu itu menanggapi dengan santai sambil mengetik sesuatu di laptopnya.

“Ya manalah gw tau Ra. Gw sama Dika kan emang udah temenan dari SMP, dari masih bocah gitu. Gw dulu juga ga ada perasaan apa-apa sama dia, kita biasa aja. Gw juga ga tau ini perasaan tiba-tiba muncul dari mana. Tiba-tiba aja gitu muncul, masa pas Dika kemaren lagi jalan bareng terus naro tangan dia di pundak gw, gw tiba-tiba ngerasa aneh gitu.” Aku nyerocos tanpa henti dan melihat Rara masih sibuk dengan laptopnya. “Iiihh, Raaaa….lo dengerin gw ga sih?!”

Rara menghela nafas dan membalikkan tubuhnya menatapku. “Oke, gini deh La. Perasaan itu sebenernya bisa kita kontrol sih, tapi gw juga paham kalo lagi jatuh cinta, kita jadi bego dan kadang ga bisa kontrol perasaan kita sendiri.”

Aku diam menyimak perkataan Rara.

“Pilihan lo sebenernya saat ini cuma 2, La. Lo lupain deh tuh si Dika, lanjutin hidup lo seperti biasa, atauuu…lo bilang ke Dika kalo lo suka sama dia.”

“Wah, gila lo. Gw ngomong ke Dika? Yang bener aja. Nggak, nggak, nggak…ga bisa gitu deh kayaknya. Bisa hancur persahabatan gw 8 tahun ini. Kalau dia ga suka juga sama gw mampus lah gw, malu banget.” Aku menggeleng-gelengkan kepala.

“Ya terserah lo sih lebih mending mana, sekali malu atau bertahun-tahun menderita karena ga bisa ngomong sama sahabat sendiri.”

“Tapi persahabatan gw bisa rusak Raa kalau gw ngomong. Lagian respon Dika bakal kayak apaan coba kalau gw ngomong.”

“Ya lo bukan dukun sih La. Lo ga bisa kontrol respon orang lain juga. Yang bisa lo kontrol ya diri lo sendiri, respon lo. Balik lagi ke 2 pilihan itu, lo mau pilih yang mana. At least, pilihan pertama ada peluang 50:50 dibandingkan lo ga ngomong sama sekali. Coba pikirin deh. Lagian ya ga ada salahnya kok kalau cewek yang ngomong duluan. Toh tujuannya hanya menyampaikan perasaan aja.”

Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan perlahan. Entah sejak kapan Rara jadi bijak gini. Walaupun terkadang sifat to the point-nya itu bikin aku sebal, tapi memang dia tau cara menghadapiku yang kalau lagi galau, harus ditanggapi dengan cara tegas. Untuk urusan solusi, sahabatku Rara selalu bisa diandalkan.

*

Malam itu aku duduk di depan meja belajarku. Lupakan lah skipsi bab 1 yang 3 hari lagi sudah harus di-submit ke dosen pembimbing. Ya kali aku mikirin skripsi. Saat ini aja aku sama sekali ga bisa fokus karena perasaan yang mengganggu ini. Sumpah, sama mantan-mantanku sebelumnya aku ga pernah segalau ini. Tapi kali ini? Taruhannya terlalu besar, persahabatan.

Aku mulai mengambil kertas kosong, mengambil pulpen yang aku tau ketika menulis tintanya ga akan bocor kemana-mana dan mulai menarik nafas panjang-panjang. Aku memutuskan untuk menulis surat ke Dika. Cemen? Iya..aku cemen untuk urusan ngomong langsung ke Dika. Aku ga seberani itu. Setidaknya dengan nulis, aku bisa mengatur kata-kataku dengan lebih terstruktur dibandingkan ngomong secara langsung.

Here we go…aku mulai menggerakkan tanganku diatas kertas kosong.

Hai Dik,

Lo pasti bingung ya kenapa gw tiba-tiba kasih surat ini ke lo, ga ada angin ga ada ujan. Sejujurnya gw bingung gimana caranya ngomong ke lo sih Dik, makanya gw tulis aja. Semoga lo baca sampai abis ya.

Lo tau kan, belakangan ini beberapa orang, bahkan orang terdekat gw selalu bertanya-tanya tentang kita. Awalnya gw tanggepin dengan santai, bahkan gw ketawa keras ketika orang lain salah menilai hubungan gw sama lo. Tapi makin kesini gw sejujurnya makin terganggu dengan segudang pertanyaan dari orang lain sih Dik.

“Eh, lo beneran ga ada apa-apa sama Dika?”, “Lo pacaran ya La sama Dika?”, “Gila lo deketnya ngelebihin orang pacaran”, dan segudang pertanyaan lainnya. Gw ga tau apakah lo juga dapet pertanyaan yang sama. Tapi akhirnya, pertanyaan-pertanyaan itu bikin gw mikir Dik. Ga tau kapan persisnya, tapi saat ini gw udah mulai di tahap terganggu.

Terganggu karena mungkin gw akhirnya mulai melihat lo secara berbeda Dik…

Inget ga lo, pas gw lagi down gara-gara masalah keluarga, lo bela-belain nemenin gw malem-malem, ngajak gw ke Café, ngobrol ngalor ngidul. Mungkin awal mulanya disitu kali ya Dik. Terus dengan semua perlakukan lo, lo suka ngerangkul gw kalau lagi jalan, lo jadi tong sampah gw juga kalau gw ada masalah, lo tau semua cerita gw, kadang juga lo suka gandeng gw, dan perhatian-perhatian kecil yang selama ini gw ga sadar, tapi belakangan ini gw mulai enjoy diperhatiin kayak gitu sama lo. Walaupun juga terkadang lo iseng sih.

Kita pun pernah berantem hebat kalau lo inget. Gw sama lo sama-sama keras kepala waktu itu. Gw mengeluarkan kata-kata yang mungkin nyakitin lo dan lo pun mengeluarkan kata-kata yang cukup bikin gw sakit hati dan gw akhirnya marah ke lo. Cuma entah kenapa selalu ada aja yang bikin kita bisa baikan lagi. Perasaan sayang gw ke lo sebagai teman, perlahan mulai geser Dik. Kalau mau blaming, gw rasanya pengen nyalahin orang-orang yang bertanya ke gw, karena mereka lah yang bikin gw berpikir ulang tentang hubungan gw sama lo. Tapi gw sadar gw ga bisa nyalahin mereka juga ya.

Gw sejujurnya takut sih nulis ini karena ada resiko gw kehilangan lo sebagai sahabat. Cuma gw sendiri udah ga tahan dengan pikiran dan perasaan gw yang kemana-mana ga jelas. Gw bahkan ga bisa fokus ngerjain skripsi Dik. Makanya gw rasa gw harus ngomong ke lo masalah ini.

Gw ga tau lo akan bereaksi seperti apa kalau lo baca ini. Gw cuma pengen ngeluarin apa yang ada di dalam pikiran gw dan gw cuma pengen lo tau apa yang gw rasain. Gw ga berharap apa-apa Dik. Tapi semoga surat ini ga membuat lo berubah ya Dik. Gw tulus sayang sama lo sebagai sahabat selama ini.

 

Lala

 

Aku melipat kertas tersebut dan memasukkannya ke dalam sebuah amplop. Sejenak kupandangi amplop yang kupegang. Ada perasaan ragu untuk memberikan surat tersebut kepada Dika. Ah, daripada gw gila…udahlah…aku memasukkan amplop tersebut kedalam tas dan beranjak ke tempat tidur.

Malam itu aku memilih untuk bersahabat dengan diriku sendiri. Seperti kata lagu, Que Sera Sera,  whatever will be, will be…

*

“Dik, baru dateng lo..” kataku memberanikan diri menghampirinya Dika yang seperti biasa datang dengan gaya santainya. Kaos hitam, jaket jeans, celana khaki, sepatu sneakers putihnya dan tidak lupa ransel hitam yang selalu ia bawa kemana-mana. Ruangan tersebut cukup penuh dengan teman-teman serta adik-adik dari komunitas yang kami ikuti tiap minggu.

“Yoi, kesiangan gw tadi. Semalem begadang,” jawab Dika santai.

“Oh…kirain lo ngeronda,” aku masih berusaha melucu ditengah jantungku yang berdebar dan isi pikiranku yang sedang berantem sendri : kasih, nggak, kasih, nggak… kalau aku jadi wasit dan bisa masuk kedalam pikiranku sendiri, aku bakal menyuruh mereka diam.

“Hahaha..lo pikir gw hansip. Kaga, kemaren gw baru dapet kerjaan freelance gitu, makanya ini gw juga ga bisa lama-lama abis itu balik, soalnya masih mau ngurusin itu.”

Waduh, berarti kesempatan gw cuma sekarang buat ngasih dong ya…

“Eh Dik, tunggu deh…gw mau ngasih lo sesuatu,” aku merogoh kedalam tasku mencari amplop yang kemarin sudah kumsaukkan kedalam tas.

“Wiihh, lo mau ngasih gw duit La? Asiiikkkk, gw dapet duit!!” kata Dika lagi-lagi sambil merangkulku.

You wish” aku pun menepis tangan Dika yang ada di bahuku. “Nih” aku menyodorkan amplop tersebut ke depan muka Dika.

“Apaan nih? Angpao?” kata Dika membolak balik amplop tersebut yang memang sengaja tidak aku tulis apa-apa.

“Bukaaann, lo bacanya entar aja kalau udah di rumah ya Dik,” kataku berusaha santai.

Dika tersenyum lalu berteriak ke salah satu adik komunitas kami yang sedang lewat sambil melambai-lambaikan surat yang baru aku kasih, “Eh, eh, Fel, gw dapet surat cinta dari Kak Lala, hahaha…”

Si Dika kampret…masih aja bercanda disaat-saat gini…

“Heh, sembarangan aja lo. Ga gitu cuy…” kataku cepat.

“Hahaha…bercanda La. Ntar deh ya gw buka pas di rumah ya. Yaudah, gw mau ketemu sama Ko Hans dulu nih, ada perlu. Bye La…” kata Dika menepuk kepalaku.

“Oke Dik…byeee…”

*

Aku melirik jam di dinding kamarku, jarum jam menunjukkan pukul 6 sore, kemudian melihat HP yang daritadi siang masih belum ada notif dari Dika. Duh, ni anak udah baca belom sih surat gw. Jangan-jangan dia udah baca terus shock lagi.

Jam 7, masih silent.

Jam 8, masih silent.

Jam 9, masih silent.

Terdengar ketukan dari depan kamarku dan pintu terbuka. Papaku melongok ke dalam kamarku, melihat apa yang sedang aku lakukan.

“Papa tidur disini yaa Dek..”

“Oh, tumben Pa..tapi aku belom mau tidur loh..” kataku sambil pura-pura mengetik sesuatu di laptop. Sejujurnya aku malas, tapi mungkin papaku cuma butuh teman malam itu. Memang tempat tidur di kamarku ukuran king size karena dulu aku sekamar berdua dengan kakakku. Tapi karena kakakku sedang kuliah di luar kota, jadi kamar itu sudah menjadi semacam kamar hotel yang besar untuk ditinggali sendiri.

“Gpp, papa tidur yaa..”

“Oke pa”

Papaku bukan tipe yang banyak bicara. Hanya sekedarnya. Tapi saat itu aku sudah tidak bisa memikirkan apapun untuk meladeni atau mengajak ngobrol papaku. Pikiranku hanya tertuju pada 1 hal : Dika.

Kenapa sampai jam segini Dika belum menghubungiku juga. Ada yang salah kah? Dia belum pulang? Suratku belum dibaca? Atau dia bingung harus gimana menanggapiku?

Semua pertanyaan-pertanyaan ini bermunculan di benakku, namun aku sendiri tidak bisa menjawabnya. Aku meraih HP ku sekali lagi dan melihat jam yang tertera di HP. Pukul 21.40. Aku membuka WA dan akhirnya memutuskan untuk chat adiknya.

“Vi..Dika ada di rumah kah?” tanyaku tanpa basa basi.

“Oi La, udah tuh. Baru balik dia. Kayaknya tadi ada urusan deh diluar.”

“Oh, oke Vi. Thanks yaa. Soalnya daritadi gw cariin dia belom ada kabar,” balasku sedikit mengarang.

Berarti Dika baru pulang. Berarti Dika kemungkinan belum baca suratku. Mungkin sekarang dia lagi beres-beres, mandi, makan, abis itu baru mungkin dia bakal baca suratku kali ya. Aku berusaha menganalisa situasi yang terjadi.

Mataku sebenarnya sudah agak berat. Aku berusaha untuk melek sampai pukul 23.00. Sampai detik itu pun tidak ada tanda-tanda message atau telpon dari Dika. Aku memutuskan untuk tidur tanpa mematikan HP, takutnya Dika menghubungiku. Aku mematikan lampu kamarku. Terang bulan diluar setidaknya mampu membuat kamarku tidak terlalu gelap gulita.

Pukul 00.34, HP ku bergetar. Aku mengusap mataku dan meraih HP yang ku taruh di meja kecil sebelah kasurku. Aku melihat jam yang tertera di HP dan kemudian melihat siapa yang menghubungiku di jam segini. Tertulis 1 nama : Dika.

“La, udah tidur?”

 

(to be continued)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hal-Hal Yang Gw Harap Gw Paham Ketika Masih Muda

Toxic Positivity

3 words for 2020