Cerpen : Dalam Diam (2)

Aku langsung bangun dan duduk di kasurku. Memejamkan mata, menarik nafas panjang, mengumpulkan nyawa untuk membalas pesannya. Memastikan juga bahwa papaku tidak akan terbangun karena suara apapun yang aku hasilkan.

“Udah sih Dik, cuma gw kebangun nih.”

“Gw telpon lo boleh?”

“Ok Dik, telpon aja.”

Aku menarik nafas panjang. Setengah satu pagi bukan waktu yang pas sepertinya untuk membahas hal-hal yang berat. Tapi aku pun tidak sanggup kalau disuruh menahan sehari lagi tanpa tau apa isi pikiran Dika ketika membaca suratku. Tiba-tiba layar HP-ku menyala dan terlihat nama Dika diatas.

“Hai Dik”

“La..udah tidur yah? Sorry ya gw telpon lo malem-malem. Bukan malem lagi ini malah ya, subuh. Gpp kan?”

“Hahaha..iya gpp Dik. Lo seharian diluar juga kayaknya ya.” Aku berbicara dengan suara pelan.

“Iya La..gw baru balik tadi jam ½ 10an. Cape banget gw..”

“Mm…” Aku hanya bergumam.

Ada keheningan sesaat. Aku tidak ingin mengambil alih dan mengarahkan pembicaraan ini. Walaupun sejujurnya aku ingin sekali memborbardir Dika dengan segudang pertanyaan, tapi aku menahan diri.

“Anyway La, gw udah baca surat lo.”

Oke..here we go, kataku dalam hati.

“Sejujurnya gw lupa lo kasih surat ke gw. Gw baru inget pas nyampe rumah, selesai mandi terus beres-beres tas.”

Keheningan itu muncul kembali. Jantungku mulai berdebar menanti apa yang akan Dika katakan selanjutnya.

“Hm..gw bingung sih La sejujurnya harus ngomong apa. Gw pikir selama ini lo tuh sukanya sama Billy.”

Anyway, Billy itu adalah salah satu pemain gitar dalam band kami. Memang, aku nge-fans sama Billy, tapi bukan suka. Aku kagum dengan permainan gitarnya dan pemikirannya yang dewasa, tetapi tidak pernah memiliki perasaan seperti perasaanku ke Dika.

“Kenapa lo bisa mikir gitu Dik?” tanyaku penasaran.

“Ya ga tau, La. Siapa sih yang ga suka sama Billy. Jago gitar, jago main bass, pinter, dewasa, high quality. Kayaknya semuanya suka sama dia deh. Hahaha..”

Aku tau Dika berusaha sekali membuat suasana cair. Aku hanya tertawa kecil.

“Kalau  boleh jujur ya La, gw sebenernya pernah berpikir tentang lo.” Dika diam sejenak dan kemudian melanjutkan, “Gw pernah berandai-andai, gimana ya seandainya gw sama Lala. Pikiran itu juga sempet muncul di gw La. Gw sempet consider lo.” Dika diam lagi. “Tapi ketika gw pikirin baik-baik, mm..gw tu ngerasa..gimana yaa..”

Aku tau Dika berhati-hati sekali mengeluarkan kata-katanya supaya tidak melukaiku. Di titik ini, aku sudah tau ujungnya akan kemana. Aku mengangguk dan tersenyum pelan walaupun saat itu Dika tidak bisa melihatku. Aku mengangguk untuk diriku sendiri.

“Gw sayang sama lo La. Gw pernah mikirin seandainya kita jadian gimana. Tapi memang, kalau gw boleh jujur, rasa sayang gw ke lo ga bisa lebih dari sekedar sahabat La. Lo tuh sahabat terbaik buat gw. Sorry ya kalau selama ini gw bikin lo salah paham. Mungkin gw ga sadar. Gw beneran ga tau efeknya akan seperti ini ke lo. Sorry banget ya La.” Aku mendengar ketulusan dalam setiap perkataan Dika.

Aku berusaha untuk tetap tenang menanggapi setiap kata-kata Dika.

“Iya gpp Dik.” kataku pelan. “Gw hanya mencoba menyampaikan apa yang mengganjal dalam pikiran gw selama ini. Jujur, gw ga bisa fokus sama sekali ngerjain skripsi gara-gara ini. Pikiran gw kemana-mana dan gw ga tenang. Tapi thanks ya Dik untuk responnya. Thank you buat kejujuran lo. I really really appreciate.”

“Iya La..maaf ya sekali lagi. Are we good?”

We’re good, Dik.”

“ Fiuh..syukurlah..”

“Dik…” panggilku pelan.

“Ya?”

“Jangan berubah ya..”

 

*

Aku tau kata-kata terakhirku kepada Dika itu hanyalah sebuah kata-kata yang akan sulit sekali untuk dilakukan. Jangan berubah? Gimana mungkin semuanya akan tetap sama setelah obrolan kemarin? Dan saat ini aku pun harus rela menghadapi momen dimana persahabatan kami berubah. Berubah menjadi seperti apa? Aku pun tidak tau akan berubah seperti apa. Biarlah semesta yang menjawab seiring dengan berjalannya waktu. Yang aku tau, kami sudah tidak banyak menghabiskan waktu bersama, bercerita panjang lebar ataupun update hidup. Aku tenggelam dengan skirpsiku dan Dika? Tenggelam juga bersama skripsi dan pekerjaannya. Kami masing-masing menjalani hidup seperti biasa.

“La…” Rara memanggilku, menggoyang-goyangkan tangannya di depan mukaku yang sedang melammun. “Oi Raa…!!”

“Ha?”

“Buset deh lo…kenapa deh? Mikirin Dika?”

Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Rara.

“Makan gih. Jangan diliatin terus piringnya. Udah dingin tuh.”

“Iya Ra..”

Rara tidak banyak berbicara menasehatiku ini itu tentang hubunganku dengan Dika. Seperti biasa, dia tau apa yang aku butuhkan saat ini. Cukup dengan ada di sampingku, mengingatkanku untuk makan dan menarikku kembali ke dunia nyata ketika pikiranku mulai bergerak kemana-mana.

“Eh, yuk..udah jam 2 nih. Harus ketemu Mba Wika kan buat bimbingan. Yuk..” Rara berdiri, mengambil tasku dan menarik tanganku. Mau tidak mau aku pun berdiri dari bangku di kantin kampus dan berjalan mengikuti Rara.

Aku mengumpulkan nyawaku dan mengambil nafas dalam-dalam. Ok, let’s focus on this thesis first.

 

*

9 tahun kemudian…

“La..lo jadi ikut kita kan ke wedding-nya Dika?” Pesan Gina terpampang di layar HP-ku. Aku meraih HP-ku dan mengetik balasan.

“Jadi donk..ntar lo sampe jam berapa? Kita harus check sound dulu kan ya?”

“Jam 1 kita sampe tempat lo ya”

“Sip Gina..berkabar lagi ya nanti”

Aku meletakkan HP dan melihat jam. Masih ada 1 jam lagi sampai Gina tiba di tempatku. Aku berjalan kearah kaca, melihat bagaimana penampilanku dan tersenyum puas.

Hari ini Dika married.

Iya, married.

Dika secara khusus meminta kami untuk menjadi pemusik dalam pernikahannya. Tentu saja aku dan teman-teman band lainnya sangat excited mempersiapkan ini semua. Secara kami udah jarang main band bareng karena kesibukan masing-masing bahkan kami terpencar dimana-mana, walaupun masih Jabodetabek sih. Dan akhirnya hari yang ditunggu-tunggu tiba.

9 tahun berlalu. Kalau ditanya bagaimana perasaanku selama ini, aku benar-benar tulus bahagia untuk Dika. Memang seperti yang pernah aku bilang, persahabatan kami berubah, tapi aku rasa perasaan sayang kami sebagai sahabat satu sama lain tidak berubah. Ada kalanya aku mengajak Billy untuk bertemu Dika ketika dia sedang ada masalah atau bahkan ketika dia harus mengambil keputusan yang besar dan berat untuk pindah ke luar negeri. Aku tetap menjaga supaya kami tidak awkward satu sama lain. Dika pun seperti itu. Kami melakukan semua itu dalam diam. Satu hal yang pasti, aku sama Dika sama-sama tau bahwa sebenarnya kami care dan sayang sebagai sahabat satu dengan yang lain, hanya saja kami menunjukkan dengan cara yang berbeda dengan yang biasa kami lakukan dulu.

 Ting…sebuah pesan masuk.

“La..kita kecepetan tadi berangkatnya, ini udah mau sampe tempat lo ya”

“Waah, ok Gina. Gw tunggu dibawah kalau gitu ya. See you”

Aku merapikan bajuku, memasukkan HP, beberapa make up dasar untuk touch up ke dalam tas dan meraih gitar case yang tersandar di tembok kamarku. Aku berjalan ke bawah dan menunggu mobil Gina dan Billy tiba di tempatku.

“Laaa…” Gina memanggilku dari kaca mobil yang terbuka setengah.

“Iih cantik banget Ginaa!” kataku seraya membuka pintu tengah dan berusaha memasukkan gitar ke dalam mobil Billy.

“Hahaha…lo juga ah. Keren, nenteng gitar pula. Siapa yang ga jatuh cinta sama cewe yang jago musik gini”

“Jiaah…ngeledek aja lo Gin” aku tertawa.

Kami bernostalgia sepanjang perjalanan menuju venue wedding Dika. Bagaimana masa-masa dulu kami SMA, dari yang tidak dekat satu dengan yang lain, sampai akhirnya bisa dekat hanya melalui 1 pertanyaan tentang cinta. Akhirnya, kami ber-6 dalam group band itu mulai terbuka satu dengan yang lainnya dan tanpa sadar kami menjadi sebuah keluarga yang sangat aku syukuri keberadaannya.

Setibanya di lokasi, aku, Billy dan Rino mulai check sound dengan alat musik yang kami bawa masing-masing dan memainkan lagu-lagu nostalgia kami sebelum mulai.

Pemberkatan pernikahan Dika berjalan dengan lancar. Aku tidak bisa berhenti tersenyum dan bersyukur melihat kebahagiaan Dika dan juga pasangannya yang memancarkan senyuman bahagia. Semua terasa hangat. Tamu-tamu yang datang hanya puluhan orang karena memang Dika membuat pernikahannya hanya dihadiri oleh orang-orang terdekatnya saja.

Selesai pemberkatan, kami harus menunggu 1 jam untuk melanjutkan ke acara resepsi.

“La..lo harus coba itu dessert-nya. Enaakkk bangettt..” Gina menghampiriku, Billy, dan Rino yang sedang membereskan alat-alat dan kabel-kabel yang berserakan. Kami memang terbiasa merapikan peralatan dan kabel-kabel selesai kami bermain.

“Yee..Gina..udah makan aja lo. Mentang-mentang cuma nyanyi.” Rino nyelak pembicaraan kami.

“Hahaha…iya dong, enakan juga jadi penyanyi. Modalnya mic doank, ga perlu beberes.”

“Bantuin sini Gin..” Rino menyerahkan kabel jack untuk Gina gulung.

“Ga ah..gw mau ambil kue lagi..” Gina ngeluyur pergi sambil tertawa.

Kami semua pun tertawa. Selesai beberes, aku menghampiri Gina dan Beatrice yang sedang ada di luar, dekat meja penerima tamu. Kami ngobrol, update hidup singkat dan membicarakan apapun yang bisa kami bicarakan. Tiba-tiba sesosok wanita cantik berjalan kearah kami, dengan gaun yang anggun, penampilan yang sederhana, rambut yang natural, sangat-sangat membuat terpesona. Wanita itu adalah mama Dika.

“Hallo kalian…gimana kabarnya? Duh, cantik-cantik ya sekarang..”

“Hai tante..” kami serempak membalas sapaannya.

“Tante juga cantik banget ini..natural sekali..awet muda ih” kata Beatrice.

Entah kenapa kalau cewek ketemu cewek selalu memuji satu sama lain ya. Pujian itu biasanya bermula dari penampilan. Entah baju, rambut, make up, atau apapun itu. Kami memang terbiasa memuji satu sama lain walaupun terkadang kami tau itu hanya basa basi belaka. Tapi tidak dengan mama Dika yang memang tampil sangat cantik sekali hari itu.

“Gimana tan rasanya melepas Dika hari ini?” Gina bertanya sambil tersenyum.

“Yaahh..gitu lah..” nada mama Dika terdengar tidak bersemangat. Aku tau bahwa mama Dika sempat tidak setuju dengan pasangan Dika saat ini. Aku tau ada masa-masanya mereka struggle untuk menerima kenyataan bahwa Dika memilih pasangannya saat ini. “Mau gimana lagi kan ya..tante cuma mikir, yaudahlah asal Dika bahagia aja..”

Kami semua mengangguk setuju dan berusaha berempati terhadap mama Dika. Sampai tiba-tiba mama Dika mengeluarkan kata-kata selanjutnya sambil menepuk tanganku.

“Kamu sih La..telat..”

Aku, Gina, Beatrice saling bertatapan satu dengan yang lain. Keheningan sesaat ada di antara kami yang berusaha mencerna apa maksud perkataan mama Dika tersebut.

“Hah? Kok jadi saya tan?” aku bingung menanggapi kata-kata mama Dika dan jadi salah tingkah. Kepanikanku itu tentu saja ditangkap langsung oleh Gina.

“Nah iya..elo sih La..” kata Gina ikut-ikutan menggodaku tanpa tau apa maksud mama Dika.

Beatrice tertawa keras. Aku hanya bisa tertawa pasrah.

“Eh tante kesana dulu ya. Ada saudara yang baru dateng itu. Duluan ya..itu kalian makan lagi aja, ambil yang banyak yaa..”

“Iya tante..tenang aja” kata Beatrice.

Selepas mama Dika pergi, mereka berdua langsung meledekku habis-habisan. Tentu saja mereka tidak akan puas jika informasi ini hanya dibiarkan sebatas mereka, Gina langsung menghampiri Billy dan Rino yang lagi duduk di sofa dan menceritakan apa yang terjadi. Seperti yang sudah bisa diduga. “Cieee…”, dan kata-kata “kamu sih La..” berulang kali diucapkan oleh mereka untuk menggodaku.

“Eh gila ya lo pada..anaknya udah married cuy hari ini.”

“Hahaha…kamu sih La..telat..” kata Rino sambil menepuk bahuku.

Aku cuma bisa pasrah sambil tersenyum kecil. Dalam hati kecilku aku memikirkan kata-kata mama Dika. Kenapa mamanya bisa ngomong seperti itu ya? Apakah Dika pernah cerita sesuatu ke mamanya? Aku kembali menatap mama Dika dari kejauhan. Sesaat pikiranku terbang entah kemana. Aku cepat-cepat mengusir pikiranku yang liar.

Jam menunjukkan pukul 6 sore. Acara resepsi pun dimulai. Dika membuat ruangan kecil tersebut menjadi hangat seperti di rumah sendiri. Dekorasi yang simple. 2 meja panjang masing-masing dengan kartu nama-nama undangan diatas mejanya. Lilin disetiap meja. Sungguh suasana yang hangat malam itu. Lagi-lagi aku tersenyum bahagia menyaksikan Dika dan pasangannya tertawa bahagia. Aku dan teman-temanku pun berbagi cerita dan tawa di meja kami sambil menyantap makan malam.

MC pun juga bekerja melanjutkan acara tersebut dengan memanggil sahabat terbaik Dika untuk memberikan speech. Aku tau Dika dan Nova sudah dekat sejak SD. Nova pun maju dan memberikan kata-kata untuk Dika. Beberapa kali aku tertawa kecil mendengarkan cerita Nova tentang Dika. Tiba-tiba dari belakang ada yang menepuk pundakku. Billy.

“La..gw sama Gina harus balik nih. Kesian anak di rumah mertua. Hehee..yuk, lo ikut kita kan?”

“Eh, iya…udah mau balik ya? Yuk.” Aku mengambil tas dan beranjak mengikuti Billy dan Gina yang maju ke depan untuk pamitan dengan Dika dan pasangannya.

Kami say goodbye satu dengan yang lain lalu foto bersama untuk mengabadikan momen tersebut. Setelah itu, aku menghampiri mama Dika yang sedang sibuk berbincang dengan keluarga. Aku pamit dan sekali lagi mengucapkan selamat kepada mama Dika. Mama Dika melihatku dan berterima kasih sambil merangkulku. Aku sedikit kaget, tapi hanya bisa tersenyum menepuk punggungnya.

Malam itu, aku tau sahabatku sudah memilih jalan hidupnya dengan bahagia. Perasaan itu sangat terpancar dari raut muka Dika dan pasangannya sepanjang hari. Aku pun sudah tidak ada perasaan apapun kepada Dika sehingga rasa yang muncul adalah sungguh perasaan tulus bahagia atas pernikahan Dika.

Sesampainya di kamar, aku menyandarkan gitar case dan menuju ke arah meja untuk meletakkan barang bawaanku dan souvenir dari Dika.

Ting…sebuah pesan tiba-tiba masuk di whatsapp.

Rino.

“La…lo tadi dipanggil sama MC nya. Nyariin lo. Hahaha..tapi lo nya udah balik ya.”

Aku mengernyitkan dahi membaca pesan tersebut.

“Hah? Maksudnya?”

“Iya, nama lo tadi dipanggil setelah Nova, buat speech.”

Aku berhenti sejenak setelah membaca pesan tersebut. Namaku dipanggil setelah Nova? Aku tau Nova itu sahabat yang ga bisa digeser oleh siapapun bagi Dika. Aku tau mereka juga punya group teman SMA yang akrab jalan kesana kemari. Tapi namaku dipanggil yang kedua setelah 9 tahun ga pernah ngobrol secara dalam dan lebih tepatnya aku menyebut kami...asing? Namaku dipanggil yang kedua disaat ada teman-teman lainnya yang lebih sering bersama Dika? Aku berusaha mencerna semua kejadian hari ini. Mulai dari kata-kata mama Dika sampai aku dipilih Dika untuk memberikan speech. Tapi tidak perlu menunggu lama, aku pun tersadar dan tersenyum sendiri. Lagi-lagi menyadari bahwa entah bagaimana caranya, ternyata aku punya tempat special di hidup Dika, begitupun sebaliknya.

Jariku langsung mengetik sesuatu kepada Dika.

1 jam kemudian telponku berdering.

“Laaa…paraahh lo! Dipanggil speech ga ada orangnya…ayo speech sekarang di telpon…hahaha..”

Dalam diam, kami saling care. Dalam diam, kami saling sayang sebagai sahabat. Pasti kalian bertanya bagaimana bisa seseorang menyayangi dalam diam? Aku pun tidak tau dan tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya, tapi yang aku tau, aku merasakannya.

 

-THE END -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hal-Hal Yang Gw Harap Gw Paham Ketika Masih Muda

Toxic Positivity

3 words for 2020